Minggu, 14 Desember 2014

Laporan praktikum "Analisis Vegetasi Mangrove"

LAPORAN PRAKTIKUM
( IAMH ) Interaksi Antar Makhluk Hidup
“ANALISIS VEGETASI MANGROVE”
Hutan Mangrove Wonorejo, Surabaya


OLEH:

KELOMPOK 10 PEND. SAINS 2012 B

                       NURUL JANAH                              12030654202
                       IIN ARISTY  MALYDA A              12030654215
                       KIRANA WIDYA. H                       12030654216
                       FIFI NUR KHOFIDHOH                12030654223
                       MUFLIHATUL ABADIYAH         12030654224


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2013



ANALISIS VEGETASI HERBA
ABSTRAK

  Minggu, 17 November 2013, telah kami lakukan praktikum analisis vegetasi herba di Hutan Mangrove Wonorejo Surabaya yang bertujuan untuk menganalisis vegetasi komunitas herba, untuk mengetahui nilai kelembaban; suhu; dan Ph pada tempat dilakukannya percobaan, serta untuk menentukan nilai kerapatan (KM,KR); frekuensi (FR,FM); dominasi (DM,DR); INP ; serta ID pada setiap spesies. Metode yang digunakan adalah memasang plot pada tiap titik sudut area yang berbentuk segiempat dengan luas area (1x1) m2, menghitung dan mengidentifikasi spesies herba yang berada pada area dalam plot, mengambil daun tiap spesies, mengukur kelembaban, suhu serta Ph dengan meggunakan soil terster dan termometer, kemudian menghitung nilai kerapatan, frekuensi, dominasi, INP, dan ID masing-masing spesies. Dari praktikum tersebut, dapat dihasilkan nilai kerapatan, frekuensi, dominasi, INP dan ID. Pada spesies A (Amaratus tricolor L) dalam plot 1 ada 2 spesies dan di plot 3 ada 3 spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar 2,5; 10,20 %; 40 %; 7,4%; 5%; 4,08%; 22,4; dan 1,25 dengan ciri kelompok seragam. Pada spesies B (Eriochloa ramosa) dalam plot 1 ada 5 spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar 5; 20,40%; 20%; 3,7%; 5%; 4,08%; 28,18; dan 0,63 dengan ciri mengelompok. Pada spesies C (Ischaemum aristatum L) dalam plot 2 ada 4 spesies dan di plot 4 ada 2 spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar 3; 12,20%; 33,3%; 6,2%; 4,2%; 3,43%; 21,83; dan 1,5% dengan ciri seragam. Pada spesies D (Panicum geminatum) dalam plot 2 ada 6 spesies dan di plot 3 ada 6 spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar 24,5; 16,7%; 3,1%; 2,1%; 1,71%; 29,31; dan 3% dengan ciri kelompok seragam. Pada spesies E (Panicum distochyum L) dalam plot 2 ada 1 spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar 1; 4,08%; 100%; 18,7%; 25%; 20,4%; 43,18; dan 0,26 dengan ciri mengelompok. Pada spesies F (Eleusine indica) dalam plot 2 ada 1 spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar 1; 4,08%; 100%; 18,7%; 25%; 20,4%; 43,18; dan 0,26 dengan ciri mengelompok. Pada spesies G (Celosia argentea L) dalam plot 2 ada 1 spesies dan di plot 3 ada 3 spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar 1; 4,08%; 100%; 18,7%; 25%; 20,4%; 43,18; dan 0,26 dengan ciri mengelompok. Pada spesies H (Fleurya aestuans) dalam plot 2 ada 4 spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar 4; 16,30%; 25%; 4,7%; 6,255; 5,1% 26,1; dan 0,5 dengan ciri mengelompok. Pada spesies I (Panicum caudiglume) dalam plot 4 ada 1 spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar 1; 4,08%; 100%; 18,7%; 25%; 20,40%; 43,18; dan 0,26 dengan ciri mengelompok.



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mangrove merupakan salah satu tumbuhan tingkat tinggi yang mempu beradaptasi dengan lingkungan laut. Definisi ekosistem mangrove merupakan vegetasi pohon didaerah tropis yang terdapat didaerah intertidal ( pasang surut ) dan mendapat pasokan air laut dan air tawar ( payau ). Hutan mangrove merupakan salah satu tipe hutan hujan tropis yang terdapat disepanjang garis pantai perairan tropis. Hutan ini merupakan peralihan habitat lingkungan darat dan lingkungan laut, maka sifat-sifat yang dimiliki tidak  sama persis sifat-sifat yang dimiliki hutan hujan tropis didaratan. Karakteristik hutan mangrove diantaranya yaitu memiliki habitat disubstrat yang berlumpur, lempung, dan berpasir, karena substrat ini mempengaruhi species yang tinggal ditempat tersebut. Produsen utama dihutan mangrove ini adalah serasah dari daun atau ranting pohon mangrove.

Dengan berbagai kelebihannya sehingga tumbuhan ini berfungsi sangat penting bagi ekosistem laut dan ekosistem daratan, akar mangrove yang kut bias menahan arus sehingga dapat mencegah erosi sedimen laut atau di sebut juga “banteng” laut. Menurut Soemodihardjo (1993), ada 15 famili, 18 genus dan 41 spesies dari true mangrove dan 116 rekanan mangrove di Indonesia. Oleh karena itu, dilakukanlah praktikum analisis vegetasi mangrove ini guna mengetahui spesies dan jenis mangrove yang dapat kita temui khususnya yang ada di hutan mangrove Wonorejo, Surabaya.
B. Rumusan Masalah
            Dari pendahuluan di atas, dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana cara mengidentifiksi nama tumbuhan komunitas pohon mangrove ?
2.      Bagaimana cara menentukan kerapatan populasi komunitas pohon mangrove ?
3.      Bagaimana cara menentukan dominansi relatif komunitas pohon mangrove ?
4.      Bagaimana cara menentukan frekuensi relatif komunitas pohon mangrove ?
5.      Bagaimana cara menentukan nilai penting suatu komunitas pohon mangrove ?
6.      Apa tujuan dilakukannya praktikuma analisis komunitas pohon mangrove ?


C. Tujuan                                                         
            Dari rumusan masalah di atas, dapat diambil beberapa tujuan sebagai berikut :
1.      Mengidentifiksi nama tumbuhan komunitas pohon mangrove
2.      Menentukan kerapatan populasi komunitas pohon mangrove
3.      Menentukan dominansi relatif komunitas pohon mangrove
4.      Menentukan frekuensi relatif komunitas pohon mangrove
5.      Menentukan nilai penting suatu komunitas pohon mangrove
6.      Melakukan analisis vegetasi komunitas pohon mangrove



BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.            Analisis Vegetasi
Struktur dan peranan jenis tumbuhan didalam masyarakat tumbuh – tumbuhan merupakan pencerminan dari faktor ekologi jenis tumbuhan yang berinteraksi dengan masa lalu, kini dan yang akan datang. Oleh karenanya dalam mempelajari vegetasi pada suatu habitat dapat diketahui masa lalu daerah atau habitat tersebut, mengerti keadaan sekarang yang terjadi dan menduga perkembangannya dimasa mendatang. Dalam hubungan tersebut analisis vegetasi adalah suatu cara untuk mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuhan ( Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis. Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat 1ain karena berbeda pula faktor lingkungannya.
Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. (Greig-Smith, 1983 dalam Heriyanto 2009).
Analisis vegetasi yang dilakukan pada areal luas tertentu umumnya berbentuk segi empat, bujur sangkar, atau lingkaran serta titik-titik. Untuk tingkat semai serta tumbuhan bawah yang rapat digunakan petak contoh titik atau bentuk kuadrat untuk tumbuhan yang tidak rapat. Variasi ukuran petak contoh tergantung pada homogenitas vegetasi yang ada.
Gambaran tentang suatu vegetasi dapat dilihat dari keadaan unit penyusun vegetasi yang di cuplik. Berbagai karakter tumbuhan dapat di ukur, biasanya parameter vegetasi yang umum diukur adalah densitas (kerapatan), dominansi, dan frekuensi (kekerapan), Indeks Nilai Penting (INP). Densitas, dominan, frekuensi, dan INP dapat di peroleh dengan berbagai cara metode sampling. Parameter vegetasi tersebut dapat diukur secara kuantitatif sebagai berikut:
1.      Densitas seluruh spesies
Densitas seluruh spesies =
2.      Densitas spesies A
Densitas spesies A =
3.      Luas area cuplikan
Luas area cuplikan = Jumlah plot x Luas plot
4.      Densitas relatif spesies A
Densitas relatif spesies A =
5.      Frekuensi absolute
Frekuensi absolut =
6.      Frekuensi spesies A
Frekuensi adalah pengukuran distribusi atau agihan spesies yang ditemukan pada plot yang dikaji. Frekuensi menjawab pertanyaan pada plot mana saja spesies tersebut ditemukan atau beberapa kali munculnya suatu spesies pada plot yang di teliti. Frekuensi diekspresikan sebagai prosentase munculnya cacah plot tempat suatu spesies ditemukan.
Frekuensi spesies A =
7.      Frekuensi relatif
Frekuensi relatif =
8.      Kerapatan (K)
Kerapatan populasi di definisikan sebagai ukuran besar populasi yang berhubungan dengan satuan ruang. Kerapatan kasar merupakan cacah individu per satuan ruang total sedangkan kerapatan ekologik adalah cacah individu per satuan habitat (luas daerah yang sesungguhnya dapat di huni populasi). Bisa juga dinyatakan bahwa kerapatan adalah jumlah individu per unit area.
Individu dalam populasi mungkin diagihkan menurut tiga pola yaitu: acak, seragam dan berkelompok (tidak teratur dan tidak teracak). Dominasi adalah pengendalian nisbi yang di terapkan oleh makhluk atas komposisi spesies dalam komunitas.
Indeks dominansi dapat di hitung dengan rumus :
C = ∑ (n1/N)2
Keterangan:
C : Indeks dominansi
n1 : Nilai penting tiap-tiap spesies (cacah individu, biomassa, produksi dan sebagainya)

2.2.       Teknik Analisis Vegetasi Metode dengan Petak
1.   Teknik Sampling Kuadrat (Quadrat Sampling Technique)
Teknik sampling kuadrat ini merupakan suatu teknik survey vegetasi yang sering digunakan dalam semua tipe komunitas tumbuhan.
a.       Petak Tunggal
Di dalam metode ini dibuat satu petak sampling dengan ukuran tertentu yang mewakili suatu tegakan hutan. Ukuran petak ini dapat ditentukan dengan kurva sepsies-area.
b.      Vegetasi Ganda
Di dalam metode ini pengambilan vegetasi biasanya menggunkan banyak petak contoh letaknya yang tersebar merata. Peletakan petak contoh sebaiknya secara sistematis. Untuk menentukan banyaknya petak contoh dapat digunakan kurva spesies-area.
2.   Metode Jalur
Metode ini paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut kondisi tanah, topografi dan elevasi. Jalur-jalur contoh ini harus dibuat memotong garis-garis topografi, misal tegak lurus garis pantai, memotong sungai, dan menarik atau menurun lereng gunung.
3.   Metode Garis Berpetak
Metode ini dianggap sebagai modifikasi metode petak ganda atau metode jalur, yakni dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama.
4.   Metode Kombinasi
Dalam metode ini risalah pohon dilakukan dengan metode jalur dan permudaan dengan metode garis berpetak.

2.3.       Penarikan Unit Contoh Penarikan dalam Komunitas Tumbuhan
Agar data yang dipakai menjadi valid, maka sebelum melakukan penelitian dengan metode sampling seharusnya menentukan terlebih dahulu tentang metode sampling yang akan digunakan, jumlah, ukuran dan pelekatan satuan-satuan unit contoh. Pemilihan metode sampling yang akan digunakan bergantung pada keadaan morfologi jenis tumbuhan dan penyebarannya, tujuan penelitian dan biaya serta tenaga yang tersedia.
1.      Bentuk Unit Contoh atau sampel
Bentuk unit sampling dalam survey vegetasi dapat berupa kuadrat, garis dan titik. Pengetian kuadrat adalah suatu satuan contoh yang tidak begitu luas yang dinyatakan dalam satuan kuadrat dan berbentuk bujur sangkar (persegi), empat persegi panjang, lingkaran atau segitiga. Sedangkan yang dimaksud dengan jalur adalah kuadrat berbentuk empat persegi panjang, diamana panjangnya beberapa kali lebarnya. Umumnya survey vegetasi menggunakan unit sampling berbentuk kuadrat.
2.      Ukuran Kuadrat
Pertimbangan utama dalam penentuan ukuran kuadrat adalah kehomogenan vegetasi dan keadaan morfologi jenis tumbuhan yang diukur. Kuadrat yang berukuran kecil lebih efisien dibandingkan kuadrat berukuran besar. Dalam hutan yang homogen, ketepatan untuk intensitas sampling tertentu cenderung lebih besar, karena jumlah satuan contoh yang bersifat bebas satu sama lain akan lebih banyak. Tetapi bila kuadrat berukuran kecil digunakan pada hutan yang heterogen. Maka koefisien variasi akan tinggi. Oleh karena itu bila hutan heterogen sebaiknya kuadrat yang digunakan juga berukuran besar.
Ukuran kuadrat harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
Ø  Harus dapat mencakup sebanyak mungkin jenis tumbuhan dalam komunitas yang bersangkutan.
Ø  Habitat dalam kuadrat harus diusahakan sehomogen mungkin; dan
Ø  Penutupan vegetasi dalam kuadrat harus diusahakan sehomogen mungkin. Sebagai contoh, unit contoh ini sebaiknya tidak mecakupa daerah terbuka yang cukup luas atau sebaliknya tidak di dominasi (59% dari luas contoh) oleh satu jenis dari 50% lagi oleh jenis kedua.

2.4.   Mangrove
Menurut Macneae (1968) Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove, sedangkan Dahuri (2001) menyatakan dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.
Hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Bakau adalah tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kebali pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbmhan, sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini. (Nybakken, 1992)
Ekosistem mangrove didefinisikan sebagai mintakat pasut dan mintakat supra-pasut dari pantai berlumpur dan teluk, goba dan estuary yang didominasi oleh halofita, yakni tumbuhan yang hidup di air asin, berpokok dan beradaptasi tinggi, yang berkaitan dengan anak sungai, rawa dan banjiran, bersama-sama dengan populasi tumbuh-tumbuhan dan hewan. Ekosistem mangrove terdiri dari dua bagian, daratan dan bagian perairan. Bagian perairan juga terdiri dari dua bagian yakni tawar dan laut. Hampir semua tumbuhan mangrove mempunyai kutikula yang tebal dan menyimpan air. Hal ini dilakukan sebagai adaptasi terhadap lingkungan hidupnya yaitun di air asin. Beberapa di antara tumbuhan mangrove mampu menyerap air laut dan membuang garamnya melalui kelenjar pembuangan garam, seperti Achantus ilicifolius dan Avicenia sp. Selain itu mangrove mempunyai sifat lain seperti stomata yang membenam.
Membanjirnya air pasang menggenangi substrat dan mempersukar tumbuh-tumbuhan biasa untuk hidup di sini. Tetapi mangrove merah (Rhizopora sp.) mempunyai akar tunggang (prop root) untuk menunjang tegaknya pohon mangrove tersebut.
Mangrove yang hidup di tanah yang miskin zat asam, sedangkan zat asam dari tanah diperlukan untuk respirasi akar. Sebagai penyesuaian hidup anaerobic, akar yang terkhususkan yang disebtu akar napas (pneumatophore) tumbuh dipermukaan tanah. Untuk keperluan sama Bruguira spp mempunyai akar lutut (knee root). (Romimohtarto dan Juwana, 2001)          
Mangal meliputi pohon-pohon dan srmak-semak terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga dalam 8 famili yang berbeda. Yang paling penting atau dominin adalah genera Rhizopora, Avicennia, Bruguiera, Sonneratia. Daun-daunnya kuat dan mengandung banyak air dan mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garamnya tinggi.  (Nybakken, 1992)
a.      Habitat Mangrove
1.      Tipe api-api(Avicennia sp), Paling dekat dengan air laut, merupakan mangrove parintis. Substratnya berlumpur, kadang-kadang berpasir dan kaya akan bahan organic. Contoh bakau jenis ini adalah Avicennia marina dan Avecennia officinellis.
2.      Tipe bakau (Rhizopora sp), Hidup didekat pantai atau di belakang Avicennia, substrat berlumpur tetapi warnanya lebih pekat dan kaya akan humus, kadang lumpur berpasir. Jenis yang paling bisa hidup di dekat laut adalah bakau gandul (Rhizopora mucronata). Jenis lain yang masih termasuk dalam kerabat Rhizopora antara lain Ceriops, Bruguiera, dan Acanthus.
3.      Tipe kandeka (Bruguiera sp), Lingkungan hidupnya berada di belakang dari tumbuhan bakau jenis Ceriops, mampu tumbuh dengan umur yang panjang dan lebih bisa beradaptasi dengan wilayah darat, substrat berlumpur tetapi tidak begitu dipengaruhi oleh factor pasang surut.
4.      Tipe nipah (Nypa fruticans), Bakau jenis ini sudah mampu untuk tumbuhdi tanah lunak berlumpur, merupakan tipe peralihan dari laut ke darat dan dapat cepat beradaptasi dengan kondisi salinitas tinggi atau pada daerah genangan air tawar. Contoh tumbuhan ini adalah Sonneratia alba.    
5.      Tipe hutan bakau air tawar, Hanya dipengaruhi oleh air musim di mana pada musim barat daerah ini tergenang oleh air. Sedangkan pada musim timur kering. Bakau jenis ini tidak dipengaruhi oleh pasang surut. Substratnya berupa tanah keras. Contoh tumbuhan ini adalah Callophyllum sp, Hibiscus sp, dan Terminalia sp. (Romimohtarto dan Juwana, 1999)
b.      Sistem Perakaran Mangrove
Karena sifat lingkungannya keras, misalnya genangan pasang-surut air laut, perubahan salinitas yang besar, perairan yang berlumpur dan anaerobik, maka pohon-pohon mangrove telah beradaptasi untuk itu baik secara morfologi maupun fisiologi. Adaptasi tersebut antara lain dapat terlihat dalam sistem perakaran yang khas mangrove. Perakaran ini berfungsi antara lain untuk membantu mangrove bernafas dan tegak berdiri. Ada jenis-jenis yang mempunyai akar horizontal di dalam tanah dan disana-sini mencuat keluar, tegak bagaikan tonggak-tonggak tajam seperti pada api-api (Avicennia). Ada pula yang akarnya tersembul kepermukaan dan melengkung bagaikan lutut seperti pada tanjang (Bruguiera). Selain itu ada pula yang akar-akarnya mencuat dari batang, dan bercabang-cabang mengarah kebawah dan menggantung kemudian masuk ketanah seperti pada bakau (Rhizophora).(Tomlinson, 1986).
Tanah habitat mangrove menjadi anaerobik (tanpa udara) ketika terendam air. Beberapa spesies mangrove mengembangkan karakteristik sistem akar, disebut akar aerial, cocok untuk kondisi tanah yang anaerobik. Akar aerial adalah akar yang mengarah ke udara sedikitnya selama setengah hari, terkadang sehari penuh. Akar aerial berfungsi sebagai pertukaran gas dan penyimpanan udara untuk pernafasan selama terendam air.(Tomlinson, 1986)
Beberapa variasi morfologi akar yang ada pada mangrove dapat digolongkan menjadi 4 kelompok utama, yaitu :
1.      Akar tunjang (Still roots), Akar tujang yang merupakan karakteristik dari Rhizopora adalah mungkin merupakan hal yang paling mencolok dan paling familiar dari seluruh akar mangrove. Akar ini tumbuh dari batang utama dan cabang terendah dari Rhizopora dan tumbuh ke bawah menuju substrat. Bagian akar yang berada di atas permukaan tanah ini berfungsi dalam pertukaran gas, sedangkan yang berada di bawah permukaan tanah berfungsi dalam transport air dan sebagai penyokong. (Romimohtarto, 2001).
2.      Pneumatophor, Pneumatophor adalah akar tegak yang menonjol secara vertikal dari batang akar subterranean dan subaerial yang terlihat. Peranan utama dari pneumatophor adalah untuk pertukaran gas. (Romimohtarto, 2001).
3.      Akar lutut (Knee roots), Akar lutut adalah bagian yang termodifikasi dari batang akar yang berada di bawah permukaan dan merupakan karakteristik yang terdapat pada sejumlah spesies dari Brugueira dan Ceriops. (Romimohtarto, 2001).
4.      Akar papan (Buttress roots), Akar papan adalah akar berkelok-kelok yang tumbuh secara radial dari batang utama, dan meluas secara vertikal dengan aktifitas kambium yang eksentrik pada keseluruhan panjangnya sampai merata, berbentuk lembaran seperti strukturnya. (Romimohtarto, 2001).

c.       Komponen Mangrove
Mangrove meliputi bermacam-macam jenis dari tumbuhan yang beradaptasi dengan lingkungannya. Tomlinson (1986) mengklasifikasi spesies mangrove menjadi 3 kelompok : komponen mayor; komponen minor dan kumpulan mangrove.
1.      Komponen Mayor, Tumbuhan yang berkembang secara morfologi seperti sistem akar aerial dan mekanisme fisiologi pengeluaran garam untuk beradaptasi dengan lingkungan mangrove, secara taksonomi terisolasi dari terestrial, hanya dapat ditemukan di hutan mangrove dan tegak.(Dahuri, 2001).
2.      Komponen Minor (Tumbuhan pantai), Tumbuhan ini tidak menarik perhatian, mengelilingi habitatnya dan jarang yang berbentuk tegak.(Dahuri, 2001).
3.      Kumpulan asosiasi, Tumbuhan ini tidak pernah tumbuh di komunitas mangrove sejati dan terdapat di tumbuhan terestrial.(Dahuri, 2001).
Mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi, seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan, 35 jenis diantaranya berupa pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis), dan parasit (2 jenis). Beberapa contoh yang berupa pohon antara lain, bakau(Rhizophora), api-api (Avicennia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops), buta-buta (Excoecaria). (Nontji, 1993).
d.      Morfologi dan Fisiologi Mangrove

1.      Sistem Akar

Tanah habitat mangrove menjadi anaerobik (tanpa udara) ketika terendam air. Beberapa spesies mangrove mengembangkan karakteristik sistem akar, disebut akar aerial, cocok untuk kondisi tanah yang anaerobik. Akar aerial adalah akar yang mengarah ke udara sedikitnya selama setengah hari, terkadang sehari penuh (Gill dan Tomlinson, 1975). Akar aerial berfungsi sebagai pertukaran gas dan penyimpanan udara untuk pernafasan selama terendam air.(Tomlinson, 1986).

2.      Buah-buahan

Semua spesies mangrove menghasilkan buah yang biasanya tersebar di air. Spesies mangrove membentuk buah-buahannya seperti silindris, bola, kacang, dsb.
ü  Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, Ceripos, and Kandelia) membentuk buah silindris (tongkat).
ü  Avicennia (buahnya berbentuk kacang), Aegiceras (buahnya berbentuk silindris) dan Nypa
ü  Sonneratia and Xylocarpus, buahnya berbentuk bola
ü  Untuk kebanyakan spesies mangrove lainnya mempunyai buah berbentuk kapsul.(Tomlinson, 1986).

3.      Kelenjar Garam
Beberapa spesies mangrove mengembangkan sistem yang cocok untuk kondisi salinitas yang tinggi, seperti organ sekresi tertentu yang disebut kelenjar garam. Avicennia, Aegiceras, Acanthus dan Aegialitis mengontrol keseimbangan garam dengan mengeluarkan garam dari kelenjar garam tersebut (Tomlinson, 1986). Kelenjar garam sangat berlimpah di permukaan daun. Biasanya terlihat garam kristal di permukaan daunnya. Spesies lainnya, Rhizopora, Bruguiera, Ceriops, Sonneratia dan Lumnitzera mengontrol keseimbangan garam dengan jalan sebaliknya, yaitu dengan merontokkan daunnya yang tua berisi akumulasi garam, atau dengan menggunakan tekanan osmotik pada akar. Namun secara mendetail hal ini belum dapat dijelaskan.(Kitamura,1997).

e.       Reproduksi Mangrove
Reproduksi tumbuhan mangrove terjadi secara seksual, yakni dengan adanya bunga berkelamin satu maupun poligami, sehingga memerlukan serangga, burung atau angin untuk membantu penyerbukan. Dalam kondisi habitat yang berat seperti diterangkan di atas, sangat sulit bagi tumbuhan mangrove untuk berkembangbiak sebagaimana tumbuhan darat biasa. Suatu penyesuaian perkembangbiakannya adalah yang disebut viviparitas (viviparity), yakni bahwa bijinya tumbuh menjadi tumbuhan muda selagi masih melekat pada tumbuhan induknya. Saat  lepas dari induknya ia akan menancap pada substrat dengan hipokotil (hypocotyl) yang seperti paku tajam. Adaptasi semacam ini terdapat pada kebanyakan jenis mangrove seperti Rhizophora spp, Bruguiera spp, Ceriops spp, dll. (Romimohtarto, 2001).

f.       Adaptasi Mangrove
Terdapat dua macam adaptasi mangrove, yakni secara morfologi dan secara anatomi.  Sebagai tumbuhan yang hidup di perairan yang bersalinitas tinggi, ia memiliki cara untuk beradaptasi sehingga disebut tumbuhan fakultatip halopit. Adapun cara adaptasinya adalah sebagai berikut :
Ø  Pada umumnya memiliki kutikula pada permukaan tumbuhan yang tebal untuk menyimpan air.
Ø  Mempunyai stomata yang membenam, sehingga mengurangi penguapan air.
Ø  Mampu menyimpan garam dalam jaringan yang relatif lengai (inert) seperti kulit pohon atau daun tua, contoh spesiesnya adalah : exoecaria spp dan bruguiera spp.
Ø  Mampu menahan masuknya garam dari air laut ke dalam akar, karena sifat inilah tumbuhan jenis ini dinamakan “penolak garam” atau salt excluder, contoh spesiesnya adalah : rhizophora spp dan sonneratia spp.
Ø  Mampu menyerap garam melalui akarnya dan kemudian mengeluarkannya melalui kelenjar yang terdapat pada daun (gland salt) sehingga membentuk kerak kristal garam pada permukaan daun, contoh spesiesnya adalah : avicennia spp, acanthus spp, dan aegiceras spp.
Ø  Beberapa diantaranya membentuk tunas vegetatif untuk menghadapi  kekeringan. (romimohtarto, 2001).
Membanjirnya air pasang menggenangi substrat dan mempersukar tumbuh-tumbuhan biasa untuk hidup disini. Tetapi mangrove merah (Rhizophora spp) mempunyai akar tunggang (prop root) untuk menunjang tegaknya pohon mangrove tersebut. Meskipun demikian tumbuh-tunbuhan ini tentunya pernah mengalami kekurangan air. Ini terbukti dengan dipunyainya tunas vegetatif yang memiliki sifat-sifat tumbuh-tumbuhan yang menyesuikan diri untuk menghadapi kekeringan.(Dahuri, 2001).
Mangrove juga hidup di tanah yang miskin zat asam, sedangkan zat asam dari tanah diperlukan untuk respirassi akar. Sebagai penyesuaiaan hidup anaerobik, akar yang terkhususkan yang disebut akar nafas (pneumathophore) tumbuh dipermukaan tanah. Pada Avicennia spp.mereka seperti pensil dan Sonneratia spp.mereka tumpul. Untuk keperluan yang sama Bruguirea spp.mempunyai akart lutut (knee root).(Dahuri, 2001)
g.      Persebaran Mangrove
Ada kira-kira 70 species mangrove sejati (komponen mayor dan minor). Empat puluh spesies dapat ditemukan di Asia Tenggara (15 spesies terdapat di Africa dan 10 spesies terdapat di America). Menurut Soemodihardjo (1993), ada 15 famili, 18 genus dan 41 spesies dari true mangrove dan 116 rekanan mangrove di Indonesia. Jumlah mangrove di Indonesia menurun sangat cepat karena dipengaruhi oleh pengunaan lahan dan sumberdaya yang berlebihan yang diakibatkan oleh peningkatan populasi di kawasan pantai.(Dahuri, 2001).

h.      Manfaat Mangrove
Hutan mangrove mempunyai arti yang sangat penting, dimana berbagai jenis hewan laut hidup dikawasan ini dan sangat bergantung pada eksistensi hutan mangrove. Perairan mangrove berfungsi sebagai tempat asuhan berbagai jenis hewan akuatik yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti ikan, udang dan kerang-kerangan. Disamping itu hutan mangrove juga memberikan sumbangan yang penting terhadap ekosistem perairan pantai melalui luruhan daunnya yang gugur berjatuhan kedalam air. Luruhan daun mangrove ini merupakan sumber bahan organik yang penting dalam rantai makanan di dalam lingkungan perairan yang dapat mencapai 7 sampai 8 ton perhektar pertahun.(Dahuri, 2001).
Kesuburan perairan sekitar kawasan mangrove kuncinya terletak pada masukan bahan organik yang berasal dari guguran daun ini. Hancuran bahan-baqhan organik kemudian menjadi bahan makanan penting bagi cacing, crustacea dan hewan-hewan lainnya. Fungsi lain dari hutan mangrove adalah melindungi garis pantai dari erosi, dimana akar-akarnya yang kuat dapat meredam pengaruh gelombang serta dapat pula menahan lumpur sehingga hutan mangrove bisa meluas.(Nontji, 1993).
Dari pokok pohon mangrove dapat dihasilkan beberapa kegunaan yakni:
1.      Produksi Kayu, Penebangan pohon mangrove untuk kayu batangan atau kayu tiang banyak dilakukaan di Malaysia.(Dahuri, 2001).
2.      Produksi Nibung, Pada transisi antara mangrove dan hutan dataran terdapat nibung (Oncosperma tigillrum). Pohon ini digunakan dalam bentuk batangan untuk bahan tiang berbagai bangunan seperti kelong, tiang jetti, dan tiang dok.(Dahuri, 2001).
3.      Produksi Arang dan Kayu Bakar, Untuk membuat arang kayu, mangrove dipotong dan dikuliti sebelum diarangkan, sementara kayu bakar tidak perlu dikuliti. Jenis produk ini adalah Rhizophora apiculata.(Dahuri, 2001).
4.      Produksi Kulit Kayu, Kulit dari pohon mangrove terutama dari marga Rhizophora, Bruguirea dan Ceriops tagal, dimanfaatkan untuk diekstrak teninnya. Tenin ini dapat digunakan untuk mengawetkan jaring dan layar.(Dahuri, 2001).

i.        Parameter Lingkungan
Ada tiga parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove yaitu :
1.      Suplai air tawar dan salinitas. Ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik dari ekosistem hutan mangrove.  Ketersediaan air tawar tergantung dari frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, frekuensi dan volume air pertukaran dari pasang surut dan tingkat evaporasi dan atmosfer.(Romimohtarto, 2001).
2.      Pasokan nutrien. Pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaur-ulangan nutrien secara internal melalui jaring-jaring makanan berbasis detritus.  Konsentrasi relatif dan nisbah optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem mangrove ditentukan oleh : frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan oleh air asin, dan oleh air tawar dan dinamika sirkulasi internal dari kompleks detritus. (Romimohtarto,2001).
3.      Stabilitas substrat. Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen diatur oleh velositas air tawar, muatan sedimen, semburan air pasang surut dan gerak air. Arti penting dari perubahan sedimentasi terhadap spesies hutan mangrove tergambar dari kemampuan hutan mangrove untuk menahan akibat yang menimpa ekosistemnya. Pokok-pokok perubahan sedimentasi dalam ambang batas kritik meliputi: pengumpulan sedimen yang diikuti dengan kolonisasi oleh hutan mangrove, nutrien, bahan pencemar dan endapan lumpur yang dapat menyimpan nutrien dan menyaring bahan beracun. (Romimohtarto,2001).




BAB III
METODE PERCOBAAN

1.        Alat dan Bahan
a)      Alat:
1)   Meteran gelang
2)   Tali rafia
3)   Timbangan
4)   Cethok
5)   Termometer Hg atau alkohol
6)   pH dan kelembaban tanah
7)   Tonggak kayu
8)   Buku identifikasi
9)   Plot kuadrat ukuran (1x1) m2

b)      Bahan
1)   Kantong plastik
2)   Karet gelang
3)   Kertas dan pulpen

2.        Prosedur Kerja
a.     Menentukan luas area yang diteliti sepanjang garis transek di wilayah hutan mangrove Wonorejo Surabaya. Mengukur setiap jarak di sepanjang 1 m garis transek. Menandai tiap-tiap transek sebagai titik cuplikan tiap kelompok.
b.    Tiap kelompok mengambil setiap titik sebanyak 4 (empat) kali dengan cara memasang plot kuadrat ukuran (1x1) m2
c.     Pada masing-masing plot kuadrat, menghitung jumlah populasi herba yang ada pada tiap plot dan menghitung berapa jenis spesies yang ada pada tiap plot
d.    Mengidentifikasi spesies herba pada setiap plot kudrat
e.     Mengambil daun atau bagian dari pohon tersebut untuk dibuat herbarium agar mempermudah melakukan identifikasi
f.     Mengidentifikasi pohon tersebut dengan menggunakan buku identifikasi
g.    Mengukur pH tanah dan kelembaban tanah masing-masing dengan menggunakan soil tester
h.    Mengukur suhu  tanah dengan termometer tanah atau alkohol atau Hg
i.      Menghitung parameter-parameter analisis vegetasi herba dengan rumus:
1)        Kerapatan
Ø  Kerapatan total =
Ø  KM spesies A = 
Ø  KR spesies A = 
2)        Frekuensi
Ø  FM spesies A = 
Ø  FR spesies A = 
3)        Dominasi
DM spesies A =
DR spesies A =
4)        Indeks nilai penting (INP)
INP = KR + FR + DR



BAB IV
DATA DAN ANALISIS

A.    DATA
No
Plot
Jumlah
Spesies
Nama Spesies
Pohon Center
(diameter)
Kelembapan
Suhu (°C)
Ph
1
1
3
A
B
C
Derris trifoliate Sonneratia caseolaris
Cylocarpus molluccensis

Spesies A (31 cm)
3,5
28
5,8
2
2
2
D
A
Bruguiera gymnorrhiza
Derris trifoliate
(13,2 cm)
2
29
6,4
3
3
6
D
E
F
A
C
G
Bruguiera gymnorrhiza
Acanthus ilicifolius
Cerbera manghas
Derris trifoliate
Cylocarpus molluccensis
Avicennia marina
(32 cm)
3
28
6
4
4
3
D
A
C
Bruguiera gymnorrhiza
Derris trifoliate
Cylocarpus molluccensis
(33 cm)
5
28
4,8
Tabel 1.

Tabel 2.
No
Spesies
Plot
(jumlah)
Kerapatan
Frekuensi
Dominasi
INP
KR total
KM
KR (%)
FM (%)
FR (%)
DM (%)
DR (%)
1
A
1 (12)
2 (18)
3 (4)
4 (7)
0,023
0,02
66,7
100
28,6
39
1,8
30,5
2
B
1 (1)
0,001
0,00002
0,07
25
7,14
400
19,4
26,5
3
C
1 (1)
3 (2)
4 (1)
0,003
0,0002
0,7
75
21,4
300
14,6
36
4
D
2 (1)
3 (8)
4 (1)
0,06
0,01
33,3
75
21,4
120
5,8
27,3
5
E
3 (1)
0,007
0,0001
0,3
25
7,14
400
19,4
26,5
6
F
3 (1)
0,003
0,00005
0,17
25
7,14
400
19,4
26,5
7
G
3 (1)
0,003
0,00005
0,17
25
7,14
400
19,4
26,5

B.     ANALISIS
Berdasarkan hasil percobaan (Tabel 1), data yang diperoleh dari keempat plot adalah berbagai macam spesies pohon mangrove. Pada plot 1, terdapat 3 spesies yaitu Derris trifoliate, Sonneratia caseolaris, dan Cylocarpus molluccens. Plot 1 memiliki tingkat kelembapan tanah 3.5, bersuhu 28°C dan memiliki pH sebesar 5,8. Pada plot 2, terdapat 2 spesies yaitu Bruguiera gymnorrhiza, dan Derris trifoliate. Plot 2 memiliki tingkat kelembapan tanah 2, bersuhu 29°C dan memiliki pH sebesar 6.4. Pada plot 3, terdapat 6 spesies yaitu Bruguiera gymnorrhiza, Acanthus ilicifolius, Cerbera manghas, Derris trifoliate, Cylocarpus molluccensis, dan Avicennia marina . Plot 3 memiliki tingkat kelembapan tanah 3, bersuhu 28°C dan memiliki pH sebesar 6. Sedangkan pada plot 4, terdapat 3 spesies yaitu Bruguiera gymnorrhiza, Derris trifoliate, dan Cylocarpus molluccensis. Plot 4 memiliki tingkat kelembapan tanah 5, bersuhu 28°C dan memiliki pH sebesar 4.8.
Dari analisis data, dihasilkan nilai kerapatan, frekuensi, dominasi, dan INP (Tabel 2). Pada spesies A (Derris trifoliate) dalam plot 1;2;3;4 berturut-turut terdapat 12;18;4;7 spesies dengan nilai KR total, KM, KR, FM, FR, DM, DR, dan INP berturut-turut sebesar 0.023; 0.02; 66.7%; 100%; 28.6%; 39%; 1.9%; dan 30.5. Pada spesies B (Sonneratia caseolaris) dalam plot 1 ada 1 spesies dengan nilai KR total, KM, KR, FM, FR, DM, DR, dan INP berturut-turut sebesar 0.001; 0.00002; 0.007%; 25%; 7.14%; 400%; 19.4%; dan 26.5. Pada spesies C (Cylocarpus molluccens) dalam plot 1;3;4 berturut-turut terdapat 1;2;1 spesies dengan nilai KR total, KM, KR, FM, FR, DM, DR, dan INP  berturut-turut sebesar 0.003; 0.0002; 0.7%; 75%; 21.4%; 300%; 14.6%; dan 36. Pada spesies D (Bruguiera gymnorrhiza) dalam plot 2;3;4 berturut-turut terdapat 1;8;1 spesies dengan nilai KR total, KM, KR, FM, FR, DM, DR, dan INP berturut-turut sebesar 0.06; 0.01; 33.3%; 75%; 21.4%; 120%; 5.8% dan 27.3. Pada spesies E (Acanthus ilicifolius) dalam plot 3 ada 1 spesies dengan nilai KR total, KM, KR, FM, FR, DM, DR, dan INP berturut-turut sebesar 0.007; 0.0001; 0.3%; 25%; 7.14%; 400%; 19.4%; dan 26.5. Pada spesies F (Cerbera manghas) dalam plot 3 ada 1 spesies dengan nilai KR total, KM, KR, FM, FR, DM, DR, dan INP berturut-turut sebesar 0.003; 0.00005; 0.17%; 25%; 7.14%; 400%; 19.4%; dan 26.5. Pada spesies G (Avicennia marina) dalam plot 3 ada 1 spesies dengan nilai KR total, KM, KR, FM, FR, DM, DR, dan INP berturut-turut sebesar 0.003; 0.00005%; 0.17%; 25%; 7.14%; 400%; 19.4%; dan 26.5.




BAB V
PEMBAHASAN

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat diperoleh beberapa data pada masing-masing plot yang dapat dilaporkan, antara lain ; kelembaban, suhu, Ph, kerapatan (KM, KR) frekuensi (FM, FR), dominasi (DM, DR), INP dan ID. Nilai kelembaban tanah tertinggi (1) terdapat pada plot 1 dan 3, nilai kelembaban terendah (0) terdapat pada plot 2 dan 4. Suhu tertinggi yaitu 33˚ C terdapat pada plot 2 dan 4, suhu terendah yaitu 32˚ C terdapat pada plot 1 dan 3. Nilai Ph tertinggi (7) terdapat pada plot 2, nilai Ph terendah (6,6) terdapat pada plot 3.
Data kerapatan (KM, KR), frekuensi (FM, FR), dominasi (DM, DR), INP dan ID di hitung dari masing-masing spesies yang ditemukan dari seluruh plot. Nilai kerapatan (KM;KR) tertinggi adalah spesies D (Panicum geminatum) yaitu (6;24,50%), sedangkan nilai kerapatan (KM;KR) terendah yaitu spesies E(Panicum distochyum L); F(Eleusine indica); G(Celosia argentea L); I(Panicum caudiglume) yaitu (1;4,08%). Nilai Frekuensi (FM;FR) tertinggi adalah spesies E(Panicum distochyum L); F(Eleusine indica); G(Celosia argentea L); I(Panicum caudiglume) yaitu (100%;18,7%), sedangakan spesies yang memiliki nilai frekuensi (FM;FR) terendah yaitu spesies D (Panicum geminatum) dengan nilai (16,7% ; 3,1%). Spesies yang memiliki nilai dominasi (DM;DR) tertinggi yaitu spesies E(Panicum distochyum L); F(Eleusine indica); G(Celosia argentea L); I(Panicum caudiglume) dengan nilai (25,00% ; 20,40%), sedangakan spesies yang memiliki nilai dominasi (DM;DR) terendah yaitu spesies D (Panicum geminatum) dengan nilai (2,10% ; 1,71%). Spesies yang memiliki nilai INP tertinggi yaitu spesies E(Panicum distochyum L); F(Eleusine indica); G(Celosia argentea L); I(Panicum caudiglume) dengan nilai (43,18), sedangakan spesies yang memiliki nilai INP terendah yaitu spesies C (Ischaemum aristatum L) dengan nilai (21,48). Spesies yang memiliki nilai ID tertinggi adalah spesies D (Panicum geminatum) dengan nilai (3,00),sedangakan spesies yang memiliki nilai ID terendah yaitu spesies E(Panicum distochyum L); F(Eleusine indica); G(Celosia argentea L); I(Panicum caudiglume) dengan nilai (0,26).

BAB VI
KESIMPULAN

Dari data yang pengamatan yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa ; nilai kerapatan berbanding terbalik dengan nilai frekuensi dan nilai dominasi. Jika suatu spesies memiliki nilai kerapatan tinggi, maka nilai frekuensi dan nilai dominasinya rendah. Sedangkan jika nilai INP yang dimiliki oleh suatu spesies rendah, maka nilai IDnya tinggi. Hal tersebut dapat diketahui melalui nilai data pada spesies D yang selalu berbanding terbalik dengan nilai spesies E;F;G;I.





LAMPIRAN

Area Plot 1

Area PLOT 2


Area Plot 3

Area Plot 4




DAFTAR PUSTAKA

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor: PT Penerbit Institut Pertanian Bogor
Kitamura, Shozo, dkk. 1997. Buku Panduan Mangrove di Indonesia. Denpasar: PassKress Communications
Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor
Heriyanto, Riyan. 2009. Ekologi Tumbuhan. (Online)
(http://heriyanto-riyan.blogspot.com/, diakses tanggal 30 Oktober 2013)
Odum. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Rachmadiarti, Fida, dkk. 2013. Petunjuk Praktikum Ekologi. Surabaya: UniPress


Semoga Bermanfaat :)
Silahkan untuk kritik dan sarannya :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar