LAPORAN PRAKTIKUM
( IAMH ) Interaksi Antar Makhluk Hidup
“ANALISIS VEGETASI MANGROVE”
Hutan Mangrove Wonorejo, Surabaya
OLEH:
KELOMPOK 10 PEND.
SAINS 2012 B
NURUL
JANAH 12030654202
IIN
ARISTY MALYDA A 12030654215
KIRANA
WIDYA. H 12030654216
FIFI
NUR KHOFIDHOH 12030654223
MUFLIHATUL
ABADIYAH 12030654224
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN SAINS
FAKULTAS MATEMATIKA
DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI
SURABAYA
2013
ANALISIS VEGETASI HERBA
ABSTRAK
Minggu, 17 November 2013, telah kami
lakukan praktikum
analisis vegetasi herba di Hutan Mangrove Wonorejo Surabaya yang bertujuan untuk menganalisis vegetasi
komunitas herba, untuk mengetahui nilai kelembaban; suhu; dan Ph pada tempat
dilakukannya percobaan, serta untuk menentukan nilai kerapatan (KM,KR);
frekuensi (FR,FM); dominasi (DM,DR); INP ; serta ID pada setiap spesies. Metode yang digunakan adalah memasang plot pada tiap
titik sudut area yang berbentuk segiempat dengan luas area (1x1) m2, menghitung dan mengidentifikasi spesies herba yang berada pada area dalam
plot, mengambil daun tiap spesies, mengukur kelembaban, suhu serta Ph dengan
meggunakan soil terster dan termometer, kemudian menghitung nilai kerapatan,
frekuensi, dominasi, INP, dan ID masing-masing spesies. Dari praktikum tersebut, dapat dihasilkan nilai kerapatan, frekuensi, dominasi, INP
dan ID. Pada spesies A (Amaratus
tricolor L) dalam plot 1 ada 2 spesies dan di plot 3 ada 3
spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar
2,5; 10,20 %; 40 %; 7,4%; 5%; 4,08%; 22,4; dan 1,25 dengan ciri kelompok
seragam. Pada spesies B (Eriochloa
ramosa) dalam plot 1 ada 5 spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP,
dan ID berturut-turut sebesar 5; 20,40%; 20%; 3,7%; 5%; 4,08%; 28,18; dan 0,63
dengan ciri mengelompok. Pada spesies C (Ischaemum aristatum L) dalam plot 2 ada 4 spesies dan di plot 4 ada 2
spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar
3; 12,20%; 33,3%; 6,2%; 4,2%; 3,43%; 21,83; dan 1,5% dengan ciri seragam. Pada
spesies D (Panicum
geminatum) dalam plot 2 ada 6 spesies dan di plot 3 ada 6
spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar
24,5; 16,7%; 3,1%; 2,1%; 1,71%; 29,31; dan 3% dengan ciri kelompok seragam. Pada
spesies E (Panicum
distochyum L) dalam plot 2 ada 1 spesies dengan nilai KM, KR, FM,
FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar 1; 4,08%; 100%; 18,7%; 25%;
20,4%; 43,18; dan 0,26 dengan ciri mengelompok. Pada spesies F (Eleusine indica) dalam
plot 2 ada 1 spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID
berturut-turut sebesar 1; 4,08%; 100%; 18,7%; 25%; 20,4%; 43,18; dan 0,26
dengan ciri mengelompok. Pada spesies G (Celosia argentea L) dalam plot 2 ada 1 spesies dan di plot 3 ada 3
spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar
1; 4,08%; 100%; 18,7%; 25%; 20,4%; 43,18; dan 0,26 dengan ciri mengelompok.
Pada spesies H (Fleurya
aestuans) dalam plot 2 ada 4 spesies dengan nilai KM, KR, FM,
FR, DM, DR, INP, dan ID berturut-turut sebesar 4; 16,30%; 25%; 4,7%; 6,255;
5,1% 26,1; dan 0,5 dengan ciri mengelompok. Pada spesies I (Panicum caudiglume) dalam
plot 4 ada 1 spesies dengan nilai KM, KR, FM, FR, DM, DR, INP, dan ID
berturut-turut sebesar 1; 4,08%; 100%; 18,7%; 25%; 20,40%; 43,18; dan 0,26
dengan ciri mengelompok.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mangrove
merupakan salah satu tumbuhan tingkat tinggi yang mempu beradaptasi dengan
lingkungan laut. Definisi ekosistem mangrove merupakan vegetasi pohon
didaerah tropis yang terdapat didaerah intertidal ( pasang surut ) dan mendapat
pasokan air laut dan air tawar ( payau ). Hutan
mangrove merupakan salah satu tipe hutan hujan tropis yang terdapat disepanjang
garis pantai perairan tropis. Hutan ini merupakan peralihan habitat lingkungan
darat dan lingkungan laut, maka sifat-sifat yang dimiliki tidak sama persis sifat-sifat yang dimiliki hutan
hujan tropis didaratan. Karakteristik
hutan mangrove diantaranya yaitu memiliki habitat disubstrat yang berlumpur,
lempung, dan berpasir, karena substrat ini mempengaruhi species yang tinggal
ditempat tersebut. Produsen utama dihutan mangrove ini adalah serasah dari daun
atau ranting pohon mangrove.
Dengan berbagai kelebihannya sehingga tumbuhan ini berfungsi sangat
penting bagi ekosistem laut dan ekosistem daratan, akar mangrove yang kut bias
menahan arus sehingga dapat mencegah erosi sedimen laut atau di sebut juga
“banteng” laut. Menurut Soemodihardjo (1993), ada 15
famili, 18 genus dan 41 spesies dari true mangrove dan 116 rekanan mangrove di
Indonesia. Oleh karena itu, dilakukanlah
praktikum analisis vegetasi mangrove
ini guna mengetahui spesies dan jenis mangrove yang
dapat kita temui khususnya yang ada
di
hutan mangrove Wonorejo, Surabaya.
B. Rumusan Masalah
Dari pendahuluan di
atas, dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana cara mengidentifiksi nama
tumbuhan komunitas pohon
mangrove ?
2. Bagaimana cara menentukan kerapatan
populasi komunitas pohon mangrove ?
3. Bagaimana cara menentukan dominansi
relatif komunitas pohon mangrove ?
4. Bagaimana cara menentukan frekuensi
relatif komunitas pohon mangrove ?
5. Bagaimana cara menentukan nilai penting
suatu komunitas pohon mangrove ?
6. Apa tujuan dilakukannya praktikuma analisis komunitas
pohon mangrove ?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, dapat
diambil beberapa tujuan sebagai berikut :
1. Mengidentifiksi nama tumbuhan komunitas pohon mangrove
2. Menentukan kerapatan populasi komunitas pohon mangrove
3. Menentukan dominansi relatif komunitas pohon mangrove
4. Menentukan frekuensi relatif komunitas pohon mangrove
5. Menentukan nilai penting suatu komunitas
pohon mangrove
6. Melakukan analisis vegetasi komunitas pohon mangrove
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Analisis Vegetasi
Struktur dan peranan
jenis tumbuhan didalam masyarakat tumbuh – tumbuhan merupakan pencerminan dari
faktor ekologi jenis tumbuhan yang berinteraksi dengan masa lalu, kini dan yang
akan datang. Oleh karenanya dalam mempelajari vegetasi pada suatu habitat dapat
diketahui masa lalu daerah atau habitat tersebut, mengerti keadaan sekarang
yang terjadi dan menduga perkembangannya dimasa mendatang. Dalam hubungan
tersebut analisis vegetasi adalah suatu cara untuk mempelajari susunan
(komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuhan (
Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Vegetasi merupakan
kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup
bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut
terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi
itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem
yang hidup dan tumbuh serta dinamis. Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada
tiap-tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat
akan berbeda dengan vegetasi di tempat 1ain karena berbeda pula faktor
lingkungannya.
Unsur struktur vegetasi
adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan
analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk
menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan
analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan
komposisi suatu komunitas tumbuhan. (Greig-Smith, 1983 dalam Heriyanto 2009).
Analisis vegetasi yang
dilakukan pada areal luas tertentu umumnya berbentuk segi empat, bujur sangkar,
atau lingkaran serta titik-titik. Untuk tingkat semai serta tumbuhan bawah yang
rapat digunakan petak contoh titik atau bentuk kuadrat untuk tumbuhan yang
tidak rapat. Variasi ukuran petak contoh tergantung pada homogenitas vegetasi
yang ada.
Gambaran tentang suatu
vegetasi dapat dilihat dari keadaan unit penyusun vegetasi yang di cuplik.
Berbagai karakter tumbuhan dapat di ukur, biasanya parameter vegetasi yang umum
diukur adalah densitas (kerapatan), dominansi, dan frekuensi (kekerapan),
Indeks Nilai Penting (INP). Densitas, dominan, frekuensi, dan INP dapat di
peroleh dengan berbagai cara metode sampling. Parameter vegetasi tersebut dapat
diukur secara kuantitatif sebagai berikut:
1. Densitas seluruh
spesies
Densitas seluruh spesies = 

2. Densitas spesies A
Densitas spesies A = 

3. Luas area cuplikan
Luas area cuplikan = Jumlah plot x Luas plot
4. Densitas relatif
spesies A
Densitas relatif spesies A = 

5. Frekuensi absolute
Frekuensi absolut = 

6. Frekuensi spesies A
Frekuensi adalah
pengukuran distribusi atau agihan spesies yang ditemukan pada plot yang dikaji.
Frekuensi menjawab pertanyaan pada plot mana saja spesies tersebut ditemukan
atau beberapa kali munculnya suatu spesies pada plot yang di teliti. Frekuensi
diekspresikan sebagai prosentase munculnya cacah plot tempat suatu spesies
ditemukan.
Frekuensi spesies A = 

7. Frekuensi relatif
Frekuensi relatif = 

8. Kerapatan (K)
Kerapatan populasi di
definisikan sebagai ukuran besar populasi yang berhubungan dengan satuan ruang.
Kerapatan kasar merupakan cacah individu per satuan ruang total sedangkan
kerapatan ekologik adalah cacah individu per satuan habitat (luas daerah yang
sesungguhnya dapat di huni populasi). Bisa juga dinyatakan bahwa kerapatan
adalah jumlah individu per unit area.
Individu dalam populasi mungkin diagihkan menurut tiga pola yaitu: acak,
seragam dan berkelompok (tidak teratur dan tidak teracak). Dominasi adalah
pengendalian nisbi yang di terapkan oleh makhluk atas komposisi spesies dalam
komunitas.
Indeks dominansi dapat
di hitung dengan rumus :
C = ∑ (n1/N)2
Keterangan:
C : Indeks dominansi
n1 : Nilai penting tiap-tiap spesies (cacah individu, biomassa,
produksi dan sebagainya)
2.2. Teknik Analisis Vegetasi Metode dengan Petak
1. Teknik Sampling Kuadrat
(Quadrat Sampling Technique)
Teknik sampling kuadrat
ini merupakan suatu teknik survey vegetasi yang sering digunakan dalam semua
tipe komunitas tumbuhan.
a. Petak Tunggal
Di dalam metode ini
dibuat satu petak sampling dengan ukuran tertentu yang mewakili suatu tegakan
hutan. Ukuran petak ini dapat ditentukan dengan kurva sepsies-area.
b. Vegetasi Ganda
Di dalam metode ini pengambilan vegetasi biasanya menggunkan banyak petak
contoh letaknya yang tersebar merata. Peletakan petak contoh sebaiknya secara
sistematis. Untuk menentukan banyaknya petak contoh dapat digunakan kurva
spesies-area.
2. Metode Jalur
Metode ini paling
efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut kondisi tanah,
topografi dan elevasi. Jalur-jalur contoh ini harus dibuat memotong garis-garis
topografi, misal tegak lurus garis pantai, memotong sungai, dan menarik atau
menurun lereng gunung.
3. Metode Garis Berpetak
Metode ini dianggap
sebagai modifikasi metode petak ganda atau metode jalur, yakni dengan cara
melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur sehingga sepanjang garis
rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama.
4. Metode Kombinasi
Dalam metode ini risalah pohon dilakukan dengan metode jalur dan permudaan
dengan metode garis berpetak.
2.3. Penarikan Unit Contoh Penarikan dalam
Komunitas Tumbuhan
Agar data yang dipakai
menjadi valid, maka sebelum melakukan penelitian dengan metode sampling
seharusnya menentukan terlebih dahulu tentang metode sampling yang akan
digunakan, jumlah, ukuran dan pelekatan satuan-satuan unit contoh. Pemilihan
metode sampling yang akan digunakan bergantung pada keadaan morfologi jenis
tumbuhan dan penyebarannya, tujuan penelitian dan biaya serta tenaga yang
tersedia.
1. Bentuk Unit Contoh atau
sampel
Bentuk unit sampling
dalam survey vegetasi dapat berupa kuadrat, garis dan titik. Pengetian kuadrat
adalah suatu satuan contoh yang tidak begitu luas yang dinyatakan dalam satuan
kuadrat dan berbentuk bujur sangkar (persegi), empat persegi panjang, lingkaran
atau segitiga. Sedangkan yang dimaksud dengan jalur adalah kuadrat berbentuk
empat persegi panjang, diamana panjangnya beberapa kali lebarnya. Umumnya
survey vegetasi menggunakan unit sampling berbentuk kuadrat.
2. Ukuran Kuadrat
Pertimbangan utama
dalam penentuan ukuran kuadrat adalah kehomogenan vegetasi dan keadaan
morfologi jenis tumbuhan yang diukur. Kuadrat yang berukuran kecil lebih
efisien dibandingkan kuadrat berukuran besar. Dalam hutan yang homogen,
ketepatan untuk intensitas sampling tertentu cenderung lebih besar, karena
jumlah satuan contoh yang bersifat bebas satu sama lain akan lebih banyak.
Tetapi bila kuadrat berukuran kecil digunakan pada hutan yang heterogen. Maka
koefisien variasi akan tinggi. Oleh karena itu bila hutan heterogen sebaiknya
kuadrat yang digunakan juga berukuran besar.
Ukuran kuadrat harus
memenuhi tiga syarat, yaitu:
Ø
Harus dapat mencakup sebanyak mungkin jenis tumbuhan dalam komunitas yang
bersangkutan.
Ø
Habitat dalam kuadrat harus diusahakan sehomogen mungkin; dan
Ø
Penutupan vegetasi dalam kuadrat harus diusahakan sehomogen mungkin.
Sebagai contoh, unit contoh ini sebaiknya tidak mecakupa daerah terbuka yang
cukup luas atau sebaliknya tidak di dominasi (59% dari luas contoh) oleh satu
jenis dari 50% lagi oleh jenis kedua.
2.4. Mangrove
Menurut Macneae (1968) Kata
mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris
grove, sedangkan Dahuri (2001) menyatakan dalam bahasa Inggris kata mangrove
digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut
maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas
tersebut. Sedangkan dalam
bahasa portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies
tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.
Hutan bakau atau mangal adalah
sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai
tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau
semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Bakau adalah tumbuhan daratan berbunga yang mengisi
kebali pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbmhan,
sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi
oleh tumbuhan ini. (Nybakken, 1992)
Ekosistem
mangrove didefinisikan sebagai mintakat pasut dan mintakat supra-pasut dari
pantai berlumpur dan teluk, goba dan estuary yang didominasi oleh halofita,
yakni tumbuhan yang hidup di air asin, berpokok dan beradaptasi tinggi, yang
berkaitan dengan anak sungai, rawa dan banjiran, bersama-sama dengan populasi
tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Ekosistem mangrove terdiri
dari dua bagian, daratan dan bagian perairan. Bagian perairan juga terdiri dari
dua bagian yakni tawar dan laut. Hampir semua tumbuhan mangrove mempunyai
kutikula yang tebal dan menyimpan air. Hal ini dilakukan sebagai adaptasi
terhadap lingkungan hidupnya yaitun di air asin. Beberapa di antara tumbuhan
mangrove mampu menyerap air laut dan membuang garamnya melalui kelenjar
pembuangan garam, seperti Achantus ilicifolius dan Avicenia sp.
Selain itu mangrove mempunyai sifat lain seperti stomata yang membenam.
Membanjirnya
air pasang menggenangi substrat dan mempersukar tumbuh-tumbuhan biasa untuk
hidup di sini. Tetapi mangrove merah (Rhizopora sp.) mempunyai akar tunggang
(prop root) untuk menunjang tegaknya pohon mangrove tersebut.
Mangrove
yang hidup di tanah yang miskin zat asam, sedangkan zat asam dari tanah
diperlukan untuk respirasi akar. Sebagai penyesuaian hidup anaerobic, akar yang
terkhususkan yang disebtu akar napas (pneumatophore) tumbuh dipermukaan
tanah. Untuk keperluan sama Bruguira spp mempunyai akar lutut (knee root). (Romimohtarto
dan Juwana, 2001)
Mangal
meliputi pohon-pohon dan srmak-semak terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga
dalam 8 famili yang berbeda. Yang paling penting atau dominin adalah genera
Rhizopora, Avicennia, Bruguiera, Sonneratia. Daun-daunnya kuat dan mengandung
banyak air dan mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi
garamnya tinggi. (Nybakken, 1992)
a.
Habitat Mangrove
1. Tipe api-api(Avicennia
sp), Paling
dekat dengan air laut, merupakan mangrove parintis. Substratnya berlumpur,
kadang-kadang berpasir dan kaya akan bahan organic. Contoh bakau jenis ini
adalah Avicennia marina dan Avecennia officinellis.
2. Tipe bakau (Rhizopora
sp), Hidup
didekat pantai atau di belakang Avicennia, substrat berlumpur tetapi
warnanya lebih pekat dan kaya akan humus, kadang lumpur berpasir. Jenis yang
paling bisa hidup di dekat laut adalah bakau gandul (Rhizopora mucronata).
Jenis lain yang masih termasuk dalam kerabat Rhizopora antara lain Ceriops,
Bruguiera, dan Acanthus.
3. Tipe kandeka (Bruguiera
sp), Lingkungan
hidupnya berada di belakang dari tumbuhan bakau jenis Ceriops, mampu
tumbuh dengan umur yang panjang dan lebih bisa beradaptasi dengan wilayah
darat, substrat berlumpur tetapi tidak begitu dipengaruhi oleh factor pasang
surut.
4. Tipe nipah (Nypa fruticans), Bakau
jenis ini sudah mampu untuk tumbuhdi tanah lunak berlumpur, merupakan tipe
peralihan dari laut ke darat dan dapat cepat beradaptasi dengan kondisi
salinitas tinggi atau pada daerah genangan air tawar. Contoh tumbuhan ini adalah Sonneratia alba.
5. Tipe hutan bakau
air tawar, Hanya dipengaruhi oleh air musim di mana pada musim
barat daerah ini tergenang oleh air. Sedangkan pada musim timur kering. Bakau
jenis ini tidak dipengaruhi oleh pasang surut. Substratnya berupa tanah keras. Contoh tumbuhan ini
adalah Callophyllum sp, Hibiscus sp, dan Terminalia sp. (Romimohtarto
dan Juwana, 1999)
b.
Sistem Perakaran Mangrove
Karena sifat
lingkungannya keras, misalnya genangan pasang-surut air laut, perubahan
salinitas yang besar, perairan yang berlumpur dan anaerobik, maka pohon-pohon
mangrove telah beradaptasi untuk itu baik secara morfologi maupun fisiologi.
Adaptasi tersebut antara lain dapat terlihat dalam sistem perakaran yang khas
mangrove. Perakaran ini berfungsi antara lain untuk membantu mangrove bernafas
dan tegak berdiri. Ada jenis-jenis yang mempunyai akar horizontal di dalam
tanah dan disana-sini mencuat keluar, tegak bagaikan tonggak-tonggak tajam
seperti pada api-api (Avicennia). Ada pula yang akarnya tersembul
kepermukaan dan melengkung bagaikan lutut seperti pada tanjang (Bruguiera).
Selain itu ada pula yang akar-akarnya mencuat dari batang, dan bercabang-cabang
mengarah kebawah dan menggantung kemudian masuk ketanah seperti pada bakau (Rhizophora).(Tomlinson,
1986).
Tanah habitat
mangrove menjadi anaerobik (tanpa udara) ketika terendam air. Beberapa spesies
mangrove mengembangkan karakteristik sistem akar, disebut akar aerial, cocok
untuk kondisi tanah yang anaerobik. Akar aerial adalah akar yang mengarah ke
udara sedikitnya selama setengah hari, terkadang sehari penuh. Akar aerial
berfungsi sebagai pertukaran gas dan penyimpanan udara untuk pernafasan selama
terendam air.(Tomlinson, 1986)
Beberapa
variasi morfologi akar yang ada pada mangrove dapat digolongkan menjadi 4
kelompok utama, yaitu :
1. Akar tunjang
(Still roots), Akar tujang yang merupakan karakteristik dari Rhizopora adalah
mungkin merupakan hal yang paling mencolok dan paling familiar dari seluruh
akar mangrove. Akar ini tumbuh dari batang utama dan cabang terendah dari
Rhizopora dan tumbuh ke bawah menuju substrat. Bagian akar yang berada di atas
permukaan tanah ini berfungsi dalam pertukaran gas, sedangkan yang berada di
bawah permukaan tanah berfungsi dalam transport air dan sebagai penyokong. (Romimohtarto, 2001).
2. Pneumatophor, Pneumatophor
adalah akar tegak yang menonjol secara vertikal dari batang akar subterranean
dan subaerial yang terlihat. Peranan utama dari pneumatophor adalah untuk
pertukaran gas. (Romimohtarto, 2001).
3. Akar lutut (Knee
roots), Akar lutut adalah bagian yang termodifikasi dari batang akar yang
berada di bawah permukaan dan merupakan karakteristik yang terdapat pada
sejumlah spesies dari Brugueira dan Ceriops. (Romimohtarto, 2001).
4. Akar papan
(Buttress roots), Akar papan adalah akar berkelok-kelok yang tumbuh secara
radial dari batang utama, dan meluas secara vertikal dengan aktifitas kambium
yang eksentrik pada keseluruhan panjangnya sampai merata, berbentuk lembaran
seperti strukturnya. (Romimohtarto,
2001).
c.
Komponen Mangrove
Mangrove meliputi bermacam-macam jenis
dari tumbuhan yang beradaptasi dengan lingkungannya. Tomlinson (1986)
mengklasifikasi spesies mangrove menjadi 3 kelompok : komponen mayor; komponen
minor dan kumpulan mangrove.
1. Komponen Mayor, Tumbuhan
yang berkembang secara morfologi seperti sistem akar aerial dan mekanisme
fisiologi pengeluaran garam untuk beradaptasi dengan lingkungan mangrove,
secara taksonomi terisolasi dari terestrial, hanya dapat ditemukan di hutan
mangrove dan tegak.(Dahuri, 2001).
2. Komponen Minor
(Tumbuhan pantai), Tumbuhan ini tidak menarik perhatian,
mengelilingi habitatnya dan jarang yang berbentuk tegak.(Dahuri, 2001).
3. Kumpulan
asosiasi, Tumbuhan ini tidak pernah tumbuh di komunitas mangrove sejati dan
terdapat di tumbuhan terestrial.(Dahuri, 2001).
Mangrove di
Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi, seluruhnya tercatat
sebanyak 89 jenis tumbuhan, 35 jenis diantaranya berupa pohon dan selebihnya
berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis),
dan parasit (2 jenis). Beberapa contoh yang berupa pohon antara lain, bakau(Rhizophora),
api-api (Avicennia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera),
nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops), buta-buta (Excoecaria).
(Nontji, 1993).
d. Morfologi dan
Fisiologi Mangrove
1.
Sistem Akar
Tanah
habitat mangrove menjadi anaerobik (tanpa udara) ketika terendam air. Beberapa
spesies mangrove mengembangkan karakteristik sistem akar, disebut akar aerial,
cocok untuk kondisi tanah yang anaerobik. Akar aerial adalah akar yang mengarah
ke udara sedikitnya selama setengah hari, terkadang sehari penuh (Gill dan
Tomlinson, 1975). Akar aerial berfungsi sebagai pertukaran gas dan penyimpanan
udara untuk pernafasan selama terendam air.(Tomlinson, 1986).
2. Buah-buahan
Semua spesies mangrove menghasilkan
buah yang biasanya tersebar di air. Spesies mangrove membentuk buah-buahannya
seperti silindris, bola, kacang, dsb.
ü Rhizophoraceae
(Rhizophora, Bruguiera, Ceripos, and Kandelia) membentuk buah silindris
(tongkat).
ü Avicennia
(buahnya berbentuk kacang), Aegiceras (buahnya berbentuk silindris) dan Nypa
ü Sonneratia and
Xylocarpus, buahnya berbentuk bola
ü Untuk kebanyakan
spesies mangrove lainnya mempunyai buah berbentuk kapsul.(Tomlinson, 1986).
3. Kelenjar Garam
Beberapa spesies mangrove mengembangkan sistem yang
cocok untuk kondisi salinitas yang tinggi, seperti organ sekresi tertentu yang
disebut kelenjar garam. Avicennia, Aegiceras, Acanthus dan Aegialitis
mengontrol keseimbangan garam dengan mengeluarkan garam dari kelenjar garam
tersebut (Tomlinson, 1986). Kelenjar garam sangat berlimpah di permukaan daun.
Biasanya terlihat garam kristal di permukaan daunnya. Spesies lainnya,
Rhizopora, Bruguiera, Ceriops, Sonneratia dan Lumnitzera mengontrol
keseimbangan garam dengan jalan sebaliknya, yaitu dengan merontokkan daunnya
yang tua berisi akumulasi garam, atau dengan menggunakan tekanan osmotik pada
akar. Namun secara
mendetail hal ini belum dapat dijelaskan.(Kitamura,1997).
e.
Reproduksi Mangrove
Reproduksi
tumbuhan mangrove terjadi secara seksual, yakni dengan adanya bunga berkelamin
satu maupun poligami, sehingga memerlukan serangga, burung atau angin untuk
membantu penyerbukan. Dalam kondisi habitat yang berat seperti diterangkan di
atas, sangat sulit bagi tumbuhan mangrove untuk berkembangbiak sebagaimana
tumbuhan darat biasa. Suatu penyesuaian perkembangbiakannya adalah yang disebut
viviparitas (viviparity), yakni bahwa bijinya tumbuh menjadi
tumbuhan muda selagi masih melekat pada tumbuhan induknya. Saat lepas
dari induknya ia akan menancap pada substrat dengan hipokotil (hypocotyl) yang
seperti paku tajam. Adaptasi semacam ini terdapat pada kebanyakan jenis
mangrove seperti Rhizophora spp, Bruguiera spp, Ceriops spp,
dll. (Romimohtarto, 2001).
f.
Adaptasi Mangrove
Terdapat dua
macam adaptasi mangrove, yakni secara morfologi dan secara anatomi.
Sebagai tumbuhan yang hidup di perairan yang bersalinitas tinggi, ia memiliki
cara untuk beradaptasi sehingga disebut tumbuhan fakultatip halopit. Adapun
cara adaptasinya adalah sebagai berikut :
Ø Pada umumnya
memiliki kutikula pada permukaan tumbuhan yang tebal untuk menyimpan air.
Ø Mempunyai
stomata yang membenam, sehingga mengurangi penguapan air.
Ø Mampu menyimpan
garam dalam jaringan yang relatif lengai (inert) seperti kulit pohon atau daun
tua, contoh spesiesnya adalah : exoecaria spp dan bruguiera spp.
Ø Mampu menahan
masuknya garam dari air laut ke dalam akar, karena sifat inilah tumbuhan jenis
ini dinamakan “penolak garam” atau salt excluder, contoh spesiesnya adalah : rhizophora
spp dan sonneratia spp.
Ø Mampu menyerap garam melalui akarnya dan
kemudian mengeluarkannya melalui kelenjar yang terdapat pada daun (gland salt)
sehingga membentuk kerak kristal garam pada permukaan daun, contoh spesiesnya
adalah : avicennia spp, acanthus spp, dan aegiceras spp.
Ø Beberapa
diantaranya membentuk tunas vegetatif untuk menghadapi kekeringan. (romimohtarto, 2001).
Membanjirnya
air pasang menggenangi substrat dan mempersukar tumbuh-tumbuhan biasa untuk
hidup disini. Tetapi mangrove merah (Rhizophora spp) mempunyai akar tunggang
(prop root) untuk menunjang tegaknya pohon mangrove tersebut. Meskipun
demikian tumbuh-tunbuhan ini tentunya pernah mengalami kekurangan air. Ini
terbukti dengan dipunyainya tunas vegetatif yang memiliki sifat-sifat
tumbuh-tumbuhan yang menyesuikan diri untuk menghadapi kekeringan.(Dahuri,
2001).
Mangrove
juga hidup di tanah yang miskin zat asam, sedangkan zat asam dari tanah
diperlukan untuk respirassi akar. Sebagai penyesuaiaan hidup anaerobik, akar
yang terkhususkan yang disebut akar nafas (pneumathophore) tumbuh
dipermukaan tanah. Pada Avicennia spp.mereka seperti pensil dan Sonneratia
spp.mereka tumpul. Untuk keperluan yang sama Bruguirea spp.mempunyai
akart lutut (knee root).(Dahuri, 2001)
g.
Persebaran Mangrove
Ada kira-kira 70 species mangrove sejati
(komponen mayor dan minor). Empat puluh spesies dapat ditemukan di Asia
Tenggara (15 spesies terdapat di Africa dan 10 spesies terdapat di America).
Menurut Soemodihardjo (1993), ada 15 famili, 18 genus dan 41 spesies dari true
mangrove dan 116 rekanan mangrove di Indonesia. Jumlah mangrove di Indonesia
menurun sangat cepat karena dipengaruhi oleh pengunaan lahan dan sumberdaya
yang berlebihan yang diakibatkan oleh peningkatan populasi di kawasan
pantai.(Dahuri, 2001).
h. Manfaat Mangrove
Hutan mangrove
mempunyai arti yang sangat penting, dimana berbagai jenis hewan laut hidup
dikawasan ini dan sangat bergantung pada eksistensi hutan mangrove. Perairan
mangrove berfungsi sebagai tempat asuhan berbagai jenis hewan akuatik yang
mempunyai nilai ekonomi penting seperti ikan, udang dan kerang-kerangan.
Disamping itu hutan mangrove juga memberikan sumbangan yang penting terhadap
ekosistem perairan pantai melalui luruhan daunnya yang gugur berjatuhan kedalam
air. Luruhan daun mangrove ini merupakan sumber bahan organik yang penting
dalam rantai makanan di dalam lingkungan perairan yang dapat mencapai 7 sampai
8 ton perhektar pertahun.(Dahuri, 2001).
Kesuburan
perairan sekitar kawasan mangrove kuncinya terletak pada masukan bahan organik
yang berasal dari guguran daun ini. Hancuran bahan-baqhan organik kemudian
menjadi bahan makanan penting bagi cacing, crustacea dan hewan-hewan lainnya.
Fungsi lain dari hutan mangrove adalah melindungi garis pantai dari erosi,
dimana akar-akarnya yang kuat dapat meredam pengaruh gelombang serta dapat pula
menahan lumpur sehingga hutan mangrove bisa meluas.(Nontji, 1993).
Dari pokok pohon mangrove
dapat dihasilkan beberapa kegunaan yakni:
1.
Produksi Kayu, Penebangan pohon mangrove untuk kayu
batangan atau kayu tiang banyak dilakukaan di Malaysia.(Dahuri, 2001).
2. Produksi Nibung,
Pada transisi antara mangrove dan hutan dataran terdapat nibung (Oncosperma
tigillrum). Pohon ini digunakan dalam bentuk batangan untuk bahan tiang
berbagai bangunan seperti kelong, tiang jetti, dan tiang dok.(Dahuri, 2001).
3. Produksi Arang
dan Kayu Bakar, Untuk membuat arang kayu, mangrove dipotong dan dikuliti
sebelum diarangkan, sementara kayu bakar tidak perlu dikuliti. Jenis produk ini
adalah Rhizophora apiculata.(Dahuri, 2001).
4. Produksi Kulit
Kayu, Kulit dari pohon mangrove terutama dari marga Rhizophora, Bruguirea
dan Ceriops tagal, dimanfaatkan untuk diekstrak teninnya. Tenin ini
dapat digunakan untuk mengawetkan jaring dan layar.(Dahuri, 2001).
i.
Parameter Lingkungan
Ada tiga
parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan
mangrove yaitu :
1. Suplai air tawar
dan salinitas. Ketersediaan air
tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik
dari ekosistem hutan mangrove. Ketersediaan air tawar tergantung dari
frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, frekuensi
dan volume air pertukaran dari pasang surut dan tingkat evaporasi dan
atmosfer.(Romimohtarto, 2001).
2. Pasokan nutrien.
Pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang
terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta
pendaur-ulangan nutrien secara internal melalui jaring-jaring makanan berbasis
detritus. Konsentrasi relatif dan nisbah optimal dari nutrien yang diperlukan
untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem mangrove ditentukan oleh :
frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan oleh air asin, dan oleh air tawar
dan dinamika sirkulasi internal dari kompleks detritus. (Romimohtarto,2001).
3. Stabilitas
substrat. Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen
diatur oleh velositas air tawar, muatan sedimen, semburan air pasang surut dan
gerak air. Arti penting dari perubahan sedimentasi terhadap spesies hutan
mangrove tergambar dari kemampuan hutan mangrove untuk menahan akibat yang
menimpa ekosistemnya. Pokok-pokok perubahan sedimentasi dalam ambang batas
kritik meliputi: pengumpulan sedimen yang diikuti dengan kolonisasi oleh hutan
mangrove, nutrien, bahan pencemar dan endapan lumpur yang dapat menyimpan
nutrien dan menyaring bahan beracun.
(Romimohtarto,2001).
BAB III
METODE PERCOBAAN
1.
Alat dan Bahan
a)
Alat:
1)
Meteran gelang
2)
Tali rafia
3)
Timbangan
4)
Cethok
5)
Termometer Hg atau alkohol
6)
pH dan kelembaban tanah
7)
Tonggak kayu
8)
Buku identifikasi
9)
Plot kuadrat ukuran (1x1) m2
b)
Bahan
1)
Kantong plastik
2)
Karet gelang
3)
Kertas dan pulpen
2.
Prosedur Kerja
a.
Menentukan luas area yang diteliti sepanjang garis transek di wilayah hutan mangrove Wonorejo Surabaya. Mengukur setiap jarak di sepanjang 1 m garis transek. Menandai
tiap-tiap transek sebagai titik cuplikan tiap kelompok.
b.
Tiap kelompok mengambil setiap titik sebanyak 4 (empat) kali dengan
cara memasang plot kuadrat ukuran (1x1) m2
c.
Pada masing-masing plot kuadrat, menghitung jumlah populasi herba
yang ada pada tiap plot dan menghitung berapa jenis spesies yang ada pada tiap
plot
d.
Mengidentifikasi spesies herba pada setiap plot kudrat
e.
Mengambil daun atau bagian dari pohon tersebut untuk dibuat
herbarium agar mempermudah melakukan identifikasi
f.
Mengidentifikasi pohon tersebut dengan menggunakan buku
identifikasi
g.
Mengukur pH tanah dan kelembaban tanah masing-masing dengan
menggunakan soil tester
h.
Mengukur suhu tanah dengan
termometer tanah atau alkohol atau Hg
i.
Menghitung parameter-parameter analisis vegetasi herba dengan
rumus:
1)
Kerapatan
Ø Kerapatan total = 

Ø KM spesies A
= 

Ø KR spesies A
= 

2)
Frekuensi
Ø FM spesies A
= 

Ø FR spesies A
= 

3)
Dominasi
DM spesies A = 

DR spesies A = 

4)
Indeks nilai penting (INP)
INP = KR +
FR + DR
BAB IV
DATA DAN ANALISIS
A. DATA
No
|
Plot
|
Jumlah
|
Spesies
|
Nama
Spesies
|
Pohon Center
(diameter)
|
Kelembapan
|
Suhu
(°C)
|
Ph
|
1
|
1
|
3
|
A
B
C
|
Derris trifoliate Sonneratia
caseolaris
Cylocarpus
molluccensis
|
Spesies A (31 cm)
|
3,5
|
28
|
5,8
|
2
|
2
|
2
|
D
A
|
Bruguiera
gymnorrhiza
Derris trifoliate
|
(13,2 cm)
|
2
|
29
|
6,4
|
3
|
3
|
6
|
D
E
F
A
C
G
|
Bruguiera gymnorrhiza
Acanthus ilicifolius
Cerbera manghas
Derris trifoliate
Cylocarpus
molluccensis
Avicennia
marina
|
(32 cm)
|
3
|
28
|
6
|
4
|
4
|
3
|
D
A
C
|
Bruguiera
gymnorrhiza
Derris trifoliate
Cylocarpus
molluccensis
|
(33 cm)
|
5
|
28
|
4,8
|
Tabel 1.
Tabel 2.
No
|
Spesies
|
Plot
(jumlah)
|
Kerapatan
|
Frekuensi
|
Dominasi
|
INP
|
||||
KR total
|
KM
|
KR (%)
|
FM (%)
|
FR (%)
|
DM (%)
|
DR (%)
|
||||
1
|
A
|
1 (12)
2
(18)
3 (4)
4 (7)
|
0,023
|
0,02
|
66,7
|
100
|
28,6
|
39
|
1,8
|
30,5
|
2
|
B
|
1 (1)
|
0,001
|
0,00002
|
0,07
|
25
|
7,14
|
400
|
19,4
|
26,5
|
3
|
C
|
1
(1)
3 (2)
4 (1)
|
0,003
|
0,0002
|
0,7
|
75
|
21,4
|
300
|
14,6
|
36
|
4
|
D
|
2 (1)
3 (8)
4 (1)
|
0,06
|
0,01
|
33,3
|
75
|
21,4
|
120
|
5,8
|
27,3
|
5
|
E
|
3
(1)
|
0,007
|
0,0001
|
0,3
|
25
|
7,14
|
400
|
19,4
|
26,5
|
6
|
F
|
3
(1)
|
0,003
|
0,00005
|
0,17
|
25
|
7,14
|
400
|
19,4
|
26,5
|
7
|
G
|
3
(1)
|
0,003
|
0,00005
|
0,17
|
25
|
7,14
|
400
|
19,4
|
26,5
|
B. ANALISIS
Berdasarkan
hasil percobaan (Tabel 1), data yang diperoleh dari keempat plot adalah
berbagai macam spesies pohon mangrove. Pada plot 1, terdapat 3 spesies yaitu Derris trifoliate, Sonneratia
caseolaris, dan Cylocarpus molluccens. Plot 1 memiliki tingkat kelembapan tanah 3.5, bersuhu
28°C dan memiliki pH sebesar 5,8. Pada plot 2, terdapat 2 spesies yaitu Bruguiera gymnorrhiza, dan
Derris trifoliate. Plot 2 memiliki tingkat kelembapan tanah 2, bersuhu 29°C
dan memiliki pH sebesar 6.4. Pada plot 3, terdapat 6 spesies yaitu Bruguiera gymnorrhiza, Acanthus
ilicifolius, Cerbera manghas, Derris trifoliate, Cylocarpus
molluccensis, dan
Avicennia marina . Plot 3 memiliki tingkat kelembapan tanah 3, bersuhu 28°C
dan memiliki pH sebesar 6. Sedangkan pada plot 4, terdapat 3 spesies yaitu Bruguiera gymnorrhiza, Derris trifoliate, dan Cylocarpus
molluccensis. Plot 4 memiliki
tingkat kelembapan tanah 5, bersuhu 28°C dan memiliki pH sebesar 4.8.
Dari analisis
data, dihasilkan nilai kerapatan, frekuensi, dominasi, dan INP (Tabel 2). Pada
spesies A (Derris trifoliate) dalam plot 1;2;3;4 berturut-turut terdapat 12;18;4;7
spesies dengan nilai KR total, KM, KR, FM, FR, DM, DR, dan INP berturut-turut
sebesar 0.023; 0.02; 66.7%; 100%; 28.6%; 39%; 1.9%; dan 30.5. Pada spesies B (Sonneratia caseolaris) dalam plot 1 ada 1
spesies dengan nilai KR total, KM, KR, FM, FR, DM, DR, dan INP berturut-turut
sebesar 0.001; 0.00002; 0.007%; 25%; 7.14%; 400%; 19.4%; dan 26.5. Pada spesies
C (Cylocarpus molluccens) dalam plot 1;3;4
berturut-turut terdapat 1;2;1 spesies dengan nilai KR total, KM, KR, FM, FR,
DM, DR, dan INP berturut-turut sebesar 0.003;
0.0002; 0.7%; 75%; 21.4%; 300%; 14.6%; dan 36. Pada spesies D (Bruguiera gymnorrhiza) dalam plot 2;3;4 berturut-turut terdapat 1;8;1
spesies dengan nilai KR total, KM, KR, FM, FR, DM, DR, dan INP berturut-turut
sebesar 0.06; 0.01; 33.3%; 75%; 21.4%; 120%; 5.8% dan 27.3. Pada spesies E (Acanthus ilicifolius) dalam plot 3 ada 1 spesies dengan nilai KR total, KM,
KR, FM, FR, DM, DR, dan INP berturut-turut sebesar 0.007; 0.0001; 0.3%; 25%; 7.14%;
400%; 19.4%; dan 26.5. Pada spesies F (Cerbera manghas) dalam plot 3 ada 1 spesies dengan nilai KR total, KM,
KR, FM, FR, DM, DR, dan INP berturut-turut sebesar 0.003; 0.00005; 0.17%; 25%; 7.14%;
400%; 19.4%; dan 26.5. Pada spesies G (Avicennia
marina) dalam plot 3 ada 1 spesies dengan nilai KR total, KM, KR, FM, FR,
DM, DR, dan INP berturut-turut sebesar 0.003; 0.00005%; 0.17%; 25%; 7.14%; 400%;
19.4%; dan 26.5.
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat
diperoleh beberapa data pada masing-masing plot yang dapat dilaporkan, antara
lain ; kelembaban, suhu, Ph, kerapatan (KM, KR) frekuensi (FM, FR), dominasi
(DM, DR), INP dan ID. Nilai kelembaban tanah tertinggi (1) terdapat pada plot 1
dan 3, nilai kelembaban terendah (0) terdapat pada plot 2 dan 4. Suhu tertinggi
yaitu 33˚ C terdapat pada plot 2 dan 4, suhu terendah yaitu 32˚ C terdapat pada
plot 1 dan 3. Nilai Ph tertinggi (7) terdapat pada plot 2, nilai Ph terendah
(6,6) terdapat pada plot 3.
Data kerapatan (KM, KR), frekuensi (FM, FR), dominasi
(DM, DR), INP dan ID di hitung dari masing-masing spesies yang ditemukan dari
seluruh plot. Nilai kerapatan (KM;KR) tertinggi adalah spesies D (Panicum geminatum) yaitu (6;24,50%), sedangkan nilai kerapatan (KM;KR)
terendah yaitu spesies E(Panicum
distochyum L); F(Eleusine indica); G(Celosia
argentea L); I(Panicum caudiglume) yaitu (1;4,08%). Nilai Frekuensi (FM;FR) tertinggi
adalah spesies E(Panicum
distochyum L); F(Eleusine indica); G(Celosia
argentea L); I(Panicum caudiglume) yaitu (100%;18,7%), sedangakan spesies yang memiliki
nilai frekuensi (FM;FR) terendah yaitu spesies D (Panicum geminatum) dengan nilai (16,7% ; 3,1%). Spesies yang memiliki nilai dominasi (DM;DR)
tertinggi yaitu spesies E(Panicum
distochyum L); F(Eleusine indica); G(Celosia
argentea L); I(Panicum caudiglume) dengan nilai (25,00% ; 20,40%), sedangakan spesies
yang memiliki nilai dominasi (DM;DR) terendah yaitu spesies D (Panicum geminatum) dengan nilai (2,10% ; 1,71%). Spesies yang memiliki
nilai INP tertinggi yaitu spesies E(Panicum
distochyum L); F(Eleusine indica); G(Celosia
argentea L); I(Panicum caudiglume) dengan nilai (43,18), sedangakan spesies yang
memiliki nilai INP terendah yaitu spesies C (Ischaemum aristatum L) dengan nilai (21,48). Spesies yang memiliki nilai ID
tertinggi adalah spesies D (Panicum
geminatum) dengan nilai
(3,00),sedangakan spesies yang memiliki nilai ID terendah yaitu spesies E(Panicum distochyum L); F(Eleusine
indica); G(Celosia argentea L); I(Panicum
caudiglume) dengan nilai (0,26).
BAB VI
KESIMPULAN
Dari data yang pengamatan yang telah diuraikan diatas,
dapat disimpulkan bahwa ; nilai kerapatan berbanding terbalik dengan nilai
frekuensi dan nilai dominasi. Jika suatu spesies memiliki nilai kerapatan
tinggi, maka nilai frekuensi dan nilai dominasinya rendah. Sedangkan jika nilai
INP yang dimiliki oleh suatu spesies rendah, maka nilai IDnya tinggi. Hal
tersebut dapat diketahui melalui nilai data pada spesies D yang selalu
berbanding terbalik dengan nilai spesies E;F;G;I.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Kusmana, C. 1997. Metode Survey
Vegetasi. Bogor: PT Penerbit Institut Pertanian Bogor
Kitamura,
Shozo, dkk. 1997. Buku Panduan Mangrove di Indonesia. Denpasar: PassKress
Communications
Soerianegara, I dan
Indrawan, A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor
Heriyanto, Riyan. 2009. Ekologi
Tumbuhan. (Online)
(http://heriyanto-riyan.blogspot.com/,
diakses tanggal 30 Oktober 2013)
Odum. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Rachmadiarti, Fida, dkk. 2013.
Petunjuk Praktikum Ekologi. Surabaya: UniPress
Semoga Bermanfaat :)
Silahkan untuk kritik dan sarannya :)
0 komentar:
Posting Komentar